SISTEM EKONOMI ISLAM
Ketika kita mempelajari jenis-jenis sistem
ekonomi di bangku sekolah atau di bangku kuliah umumnya kita hanya diajarkan
tentang sistem ekonomi tradisional, sistem ekonomi liberal/ kapitalis dan sistem
ekonomi sosialis/komunis serta sistem ekonomi campuran sebagai sistem ekonomi
yang dianggap terbaik dibanding tiga sistem ekonomi sebelumnya. Atau yang lebih
lengkap ditambah sistem ekonomi pancasila yang dianggap lebih sesuai dengan
karakter bangsa Indonesia.
Padahal dari sejumlah sistem ekonomi itu
ada satu sistem ekonomi yang sangat jarang sekali dibahas atau diperkenalkan di
lembaga pendidikan kita. Padahal sebenarnya sistem ekonomi ini adalah yang
terbaik dan sempurna dibandingkan dengan semua sistem ekonomi yang ada. Mengapa
demikian?. Karena sistem ekonomi yang lain adalah hasil dari pemikiran manusia
sedangkan sistem ekonomi yang satu ini bukan hasil pemikiran manusia melainkan
hasil ciptaan Allah Yang Maha Pencipta. Ini adalah Sistem ekonomi Islam atau
sistem ekonomi syariah.
Sistem ekonomi Islam adalah sistem ekonomi
yang dijalankan sesuai dengan aturan Allah Subhanahu wa ta’ala yang bertujuan untuk
mencari ridho-Nya.
Ketika sistem ekonomi kapitalis/ liberalis
menghasilkan masa lalu kelam bagi umat manusia bertajuk Great Depression 1929. Sistem sosialis/ komunis bahkan lebih parah yang
mengharuskan adanya gerakan revolusi, pengerusakan, pembantaian masal dsb
sebagai prasyarat agar sistem ekonomi sosialis dapat terlaksana. Bahkan bangsa Indonesia
sendiri punya “pengalaman pribadi” yang buruk saat berurusan dengan partai
Komunis. Serta sistem ekonomi campuran yang tak jua membuahkan bukti nyata
karena masih belum mampu menyembuhkan penyakit yang dibawa oleh sistem-sistem
ekonomi terdahulu seperti inflasi, pengangguran, kemiskinan dan masalah
lainnya. Hal tersebut berbeda dengan sistem ekonomi Islam.
Ungkapan bahwa sislem ekonomi Islam adalah
yang terbaik bukan hanya hisapan jempol belaka. Sejarah telah banyak mencatat
kejayaan Islam terutama dibidang ekonomi. Salah satu buktinya terjadi pada dua
setengah tahun masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz. Diriwayatkan bahwa jumlah
penerima zakat terus berkurang pada masa Umar. Bahkan para amil zakat
berkeliling di pelosok-pelosok Afrika untuk membagikan zakat, tapi tak seorang
pun yang mau menerima zakat. Negara benar-benar mengalami surplus, bahkan
sampai ke tingkat dimana utang-utang pribadi dan biaya pernikahan warga pun
ditanggung oleh negara.
Mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Sekali lagi, karena sistem ekonomi Islam
adalah hasil ciptaan Allah Yang Maha Mengetahui sedangkan sistem ekonomi
lainnya adalah hasil pemikiran manusia yang notabene adalah mahkluk yang lemah.
Sejarah itu adalah sebagai bukti kekuasaan
dan kebesaran Allah Subhanahu wa ta’ala.
Cir-ciri sistem ekonomi Islam
1.
Berpedoman
pada Al Quran, Hadits Nabi, Ijma dan Qiyas
2.
Aktivitas
Ekonomi dijalankan dengan tujuan mencari Ridho Allah Subhanahu wa ta’ala bukan untuk mencari keuntunga duniawi (profit oriented) semata
3.
Bukan
berfokus pada siapa yang mengendalikan perekonomian tapi pada transaksi mana
yang boleh dijalankan dan mana yang tidak boleh
Syarat transaksi yang
diperbolehkan :
1.
Tidak
mengandung unsur riba
Riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi
jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip
muamalat dalam Islam.
Ada banyak
ayat dan hadits yang menerangkan tentang pelarangan ini, diantaranya firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
“Orang-orang yang makan riba tidak dapat
berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
penyakit gila . Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
berkata , sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti , maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu ; dan urusannya kepada Allah. Orang yang kembali , maka
orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. (QS. Al-Baqarah : 275)
“Rasulullah melaknat orang yang memakan riba, yang mewakilinya,
penulisnya, dan kedua
saksinya dan Rasul berkata : mereka semua berdosa". (HR.
Muslim)
Macam-Macam
Riba :
Riba Fadli, yaitu tukar
menukar dua barang sejenis tetapi
tidak sama ukurannya.
Riba Qordli, yaitu meminjamkan barang dengan
syarat ada keuntungan bagi yang meminjamkan
Riba Nasi'ah, yaitu tambahan yang disyaratkan dari 2 orang yang
mengutangi sebagai imbalan atas penangguhan (penundaan) utangnya.
Riba Yad, yaitu riba dengan sebab perpisah dari tempat aqad
jual beli sebelum serah terima
antara penjual dan pembeli.
2.
Tidak
mengandung unsur ghoror (tipu daya/
spekulasi)
“Seorang muslim itu bersaudara dengan muslim
lainnya, tidak halal bagi seorang muslim menjual kepada saudaranya barang cacat
kecuali ia jelaskan. ” (HR. Ahmad,
Ibnu Majah, Daruqutni, Al-Hakim dan Athabrani).
“Barang
siapa yang berlaku curang terhadap kami, maka ia bukan dari golongan kami.
Perbuatan makar dan tipu daya tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban, Thabrani, Abu Nu’aim,
dihasankan Syaikh Salim Al Hilaly)
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam melarang jual beli secara ijon. Ijon adalah jual beli barang
yang belum layak diperjual belikan. Misalnya jual beli jeruk saat pohon jeruk
masih berbunga.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang buah-buahan sebelum nyata
jadinya. Ia larang penjual dan pembeli”. (Mutafaq Alaih).
Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam melarang menjual buah-buahan hingga masak. Maka ditanyakan
orang “Bagai mana tanda masaknya?”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,”kemerah-merahan,
kekuning-kuningan dan bisa dimakan”. (HR Bukhari).
3.
Tidak
memperjualbelikan barang haram
Barang-barang
yang haram untuk dikonsumsi haram juga untuk diperjual belikan. Banyak dalil
tentang hal ini diantaranya:
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atas
kalian (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan apa-apa yang disembelih bukan
karena Allah”. (Q.S. An Nahl 16:115).
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya
mengharamkan jual beli arak, bangkai, babi dan patung-patung”. (Mutafaq
Alaih).
“Barang siapa yang membiarkan anggurnya pada
masa petikan, untuk dia jual kepada orang yang menjadikannya arak, maka
sesungguhnya dia menempuh api neraka dengan sengaja ”.(HR Tabrani).
“Segolongan umatku akan minum khamr, mereka
berikan nama dengan nama bukan khamr”. (Za’dul Maad:291).
Pelarangan
ini bukan hanya melarang memperjualbelikannya saja tetapi juga memproduksi,
mengkonsumsi bahkan terlibat dalam aktivitas yang menghasilkan barang dan jasa
yang diharamkan juga dilarang. Hal tersebut sesuai dengan hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dari Ibnu Umar.
Nabi
Muhammad Salallahu alaihi wa sallam bersabda, “Semoga Allah melaknat khamr dengan peminumnya, penuangnya, penjualnya,
yang memperjualbelikannya, pemerasnya, yang menyuruh memerasnya, pembawa dan
yang membawakannya”.
Dalam hal
ini bukan hanya barang/ jasa yang diperdagangkan saja yang tidak boleh haram,
uang yang digunakan pun dilarang jika itu adalah uang haram.
4. Barang yang diperjual belikan adalah milik
sendiri
“Janganlah engkau menjual
barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu Dawud,
Tirmidzi, An Nasaa’i, Ibnu Majah, Ahmad, dishahihkan Syaikh Salim bin ‘Ied Al
Hilaly)
Diperbolehkan
juga apabila menjual barang milik orang lain dengan seizin pemilik barang
tersebut seperti yang pernah dilakukan Rasulullah Salallahu alaihi wa sallam
saat beliau memerintahkan Urwah untuk membeli kambing untuk beliau. HR Bukhari
5.
Transaksi
dilakukan tanpa unsur keterpaksaan
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kami saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu ; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.” (QS. An-Nisa :
29)
6.
Dilarang
memperjualbelikan barang yang dapat menimbulkan perpecahan
“Rasulullah mencegah menjual senjata ditengah
berlangsungnya fitnah”. (Baihaqi).
Ada banyak keunggulan dari sistem ekonomi Islam diantaranya:
1.
Sejarah telah membuktikan ketangguhan sistem
ekonomi ini
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya pada masa kepemimpinan Umar
bin Abdul Aziz tak didapati seorang pun yang mau menerima zakat karena semua
rakyat telah memiliki kemampuan yang baik secara financial. Negara
benar-benar mengalami surplus, bahkan sampai ke tingkat dimana utang-utang
pribadi dan biaya pernikahan warga pun ditanggung oleh negara.
2.
Aturannya sudah diatur secara jelas dan adil
Semua sudah diatur oleh Allah Subhanahu
wa ta’ala dalam Al-Qur’an, hadits Nabi, Ijma dan qias.
3.
Hak kepemilikan diakui
4.
Setiap masyarakat diberi kebebasan menentukan
jenis usaha atau pekerjaan yang akan dikerkakannya sesuai dengan kemampuan
masing-masing.
Islam sangat menghargai keahlian profesionalisme, sebagai sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Apabila diserahkan suatu urusan
kepada bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya”. (HR. Bukhari).
5.
Distribusi pendapatan merata
Hubungan antara pengusaha dan pekerja telah diatur oleh Allah Yang
Maha Adil dengan sebaik-baiknya. Manusia dihargai sebagai manusia bukan sebagai
alat (berbeda dengan kapitalis yang menyamakan manusia sebagai alat produksi).
Allah Subhanahu wa ta’ala
berfirman :
“Masing-masing
mempunyai tingkatan-tingkatan menurut apa yang telah mereka kerjakan dan agar
Allah mencukupkan balasan pekerjaan-pekerjaan mereka, sedang mereka tiada di
rugikan” (Q.S. Al Ahqaf 46:19).
Dalam ayat tersebut Allah Yang Maha Mengetahui mengajarkan kepada kita
dalam hal pembayaran upah/ gaji harus sesuai dengan tingkatan pekerjaan yang
dilakukan pekerja tersebut. Serta pembayaran tersebut tidak boleh merugikan si
pekerja itu.
Dalam Hadits Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Berilah pegawai itu upahnya
sebelum kering keringatnya”. (HR. Ibnu Majah).
Hadits tersebut menegaskan tidak boleh adanya penundaan pembayaran
upah pekerja karena penundaan itu akan merugikan bagi si pekerja.
Ketika si pekerja menerima pembayaran sesuai dengan jerih payahnya dan
juga dibayarkan tepat pada waktunya, hal tersebut akan membuat si pekerja
merasa dihargai sehingga akan berdampak pada loyalitas si perkerja terhadap
pemberi kerja. Hal itu juga akan menjadi motivasi lebih bagi si pekerja
sehingga dia akan lebih maksimal lagi dalam bekerja yang akan meningkatkan
produktivitas dan keuntungan bagi si pemberi kerja.
Distribusi pendapatan bagi mereka yang tidak mampu juga telah diatur
oleh Allah Subhanahu wa ta’ala
melalui infak, zakat, sedekah bagi kaum muslimin dan jizyah bagi non-muslim yang tinggal di dalam Negara Islam.
Sebagai catatan, jizyah
seperti yang dijelaskan oleh Ibn Qudamah adalah wazhîfah (kompensasi) yang diambil tiap
tahun dari orang kafir karena dia menetap di dalam Dâr al-Islâm (negara Islam).
jizyah hanya
dipungut dari: lelaki, balig dan berakal. Jizyah
tidak akan diambil dari perempuan, anak-anak dan orang gila. Jizyah juga hanya diambil dari orang
yang mampu dengan jumlah yang diatur menurut kemampuan sehingga tidak
memberatkan. Sedangkan bagi mereka yang tidak mampu justru akan mendapatkan
nafkah dari negara. Sangat jauh berbeda dengan konsep dan praktik pajak dalam
sistem negara sekular atau negara-negara kafir, karena dalam praktiknya, pajak
tidak pandang bulu; berlaku untuk laki-laki dan perempuan, kaya dan miskin,
dewasa dan anak-anak.
Kebaikan bukan
hanya berdampak pada sektor ekonomi saja tapi juga pada sektor-sektor lain
seperti sosial, keamanan dsb.
Agar sistem
ini dapat berjalan perlu didukung dengan adanya peran pemerintah, diantaranya:
1.
Menjamin agar aturan-aturan Allah Subhanahu wa ta’ala ditegakkan
2.
Memungut dan mendistribusikan zakat, jizyah dan pajak yang tidak memberatkan
3.
Menyediakan lapangan pekerjaan
4.
Melakukan perencanaan ekonomi
5.
Menyelaraskan hubungan internasional dan
pertahanan
6.
Mengotrol jumlah uang beredar
7.
Mengontrol harga apabila diperlukan
SUMBER:
Masjkoery, A.Qohar, dkk. 2003. Pendidikan Agama Islam. Jakarta:
Penerbit Gunadarma
Rasjid,
Sulaiman. 1994. Fiqh Islam. Sinar
Baru Algensindo: Bandung
http://hizbut-tahrir.or.id/2009/11/10/jizyah-diskriminasi-terhadap-non-muslim/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar